Dasar Pendapat yang Mengharamkan Haji Furoda dan Pendapat Lain Yang Berbeda
Dasar Pendapat yang Mengharamkan Haji Furoda dan Pendapat Lain Yang Berbeda
Bagi yang sudah membaca artikel Bagian 1 bisa melanjutkan membaca, jika belum, mohon untuk membaca artikel Bagian 1 dengan cara Klik Disini (Red.) Beberapa pihak yang mengharamkan haji furoda (atau visa mujamalah) beralasan:
- Terdapat unsur gharar, karena kepastian visa belum pasti hingga mendekati musim haji.
- Harga yang sangat tinggi, dan dianggap tidak wajar sehingga membebani jamaah.
- Jalur tidak resmi menurut sistem Indonesia, sehingga dianggap tidak mengikuti tertib administrasi.
Namun, alasan tersebut perlu ditinjau secara ilmiah:
- Gharar dalam jasa berbeda dengan barang — ulama seperti Ibn Taymiyyah dan al-Sarakhsī membedakan antara gharar dalam jual beli barang dan dalam jasa. Selama niat dan komitmen akadnya jelas, maka tidak disebut gharar yang merusak (gharar fāḥisy). Jika diharamkan terkait dengan keluar atau tidak keluarnya visa, maka secara fakta visa itu ada, dan hal ini mengakibatkan seluruh muamalah yang semisal dari jasa traveling adalah haram hukumnya, dan menimbulkan mafsadat yang lebih besar, karena dibutuhkan manusia.
- Hukum asal muamalah adalah boleh, dan tidak bisa diharamkan tanpa dalil yang jelas. (Majmūʿ al-Fatāwā, 29/3). Sisi pandang gharar atau tidaknya, ataukah kemudian termasuk kategori fahisy atau yasir adalah merupakan perkara ijtihadi dan bukan sesuatu yang qath’I (pasti), maka hukum asal dalam muamalah tidak bisa dihilangkan begitu saja hanya dengan dasar ijtihad.
- Gharar dalam akad haji furoda bukanlah gharar fāḥisy, sebab:
- Visa furoda/mujamalah dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah Saudi, dan juga diakui oleh pemerintah Indonesia dan secara fakta, bahwa hal itu ada.
- Ada komitmen dan kontrak antara jamaah dan penyelenggara.
- Gagal berangkat karena tidak keluar visa (prosesnya tidak di approve oleh pemerintah Saudi) bukanlah bentuk gharar yang haram, sebagaimana dalam jasa penggalian sumur atau ijarah (jasa) lainnya.
- Kaidah: ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب — (tidaklah sempurna sebuah kewajiban melainkan dengan wasilahnya, maka wasilah tersebut adalah wajib)
Jika seseorang memiliki kemampuan untuk menunaikan haji dengan jalur furoda yang langsung berangkat (karena jalur reguler terlalu lama), maka mengambil jalur ini adalah wasilah menuju kewajiban.
- Fatwa kontemporer membolehkan — seperti Majmaʿ al-Fiqh al-Islāmī (2006) yang menyebut bahwa:
"إذا تأخر موعد الحصة الرسمية بحيث يخشى من عدم تمكن المكلف من أداء الفريضة، فإن اللجوء إلى البدائل الرسمية الأخرى التي تقصر المدة واجب على المستطيع."
"Apabila jadwal haji dari kuota resmi tertunda sampai dikhawatirkan orang yang wajib berhaji tidak dapat menunaikan ibadah tersebut, maka wajib bagi orang yang mampu untuk mengambil alternatif resmi lain yang mempercepat waktu pelaksanaan haji." (Muʿtamar Majmaʿ al-Fiqh al-Islāmī, 2006)
Dengan demikian, pengharaman haji furoda tidak berdasar kuat jika hanya mengandalkan unsur ketidakpastian administratif atau biaya tinggi, selama prosedur dan perjanjian dilakukan secara sah dan legal dalam konteks negara yang mengeluarkan visa.
Pendapat Tidak Wajibnya Haji Bagi Orang Indonesia dan Jawabannya
Ada yang berpendapat bahwa haji untuk saat ini tidaklah wajib bagi WNI karena:
- Antrian haji reguler sangat panjang (hingga puluhan tahun),
- Adanya sistem riba atau dana talangan,
- Ketiadaan kepastian waktu pelaksanaan,
- Sistem penyelenggara dianggap tidak syar’i atau tidak kompeten.
Namun jawaban terhadap pendapat ini adalah sebagai berikut:
Dalil umum kewajiban haji tidak digugurkan oleh faktor administratif:
"ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا"
"Dan (diwajibkan) atas manusia kepada Allah untuk berhaji ke Baitullah bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana." (QS. Ali 'Imran: 97)
Istithāʿah adalah kemampuan syar’i dan ‘urfī, bukan administratif:
- Jika seseorang mampu secara finansial, fisik, dan keamanan, maka ia terkena kewajiban mendaftar.
- Sistem negara yang memperlama antrian tidak menggugurkan kewajiban, sebagaimana kaidah:
"ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب"
Antrian panjang bukan udzur syar’i untuk menggugurkan kewajiban:
- Para ulama seperti Ibn Bāz, Ibn ʿUthaymīn, dan al-Albānī menegaskan bahwa haji wajib ditunaikan segera jika mampu.
- Menunda tanpa uzur adalah dosa besar menurut sebagian ulama (lihat: Fatāwā Ibn Bāz dan Fatāwā Nūr ‘ala al-Darb).
Mengganti haji dengan umrah Ramadhan bukan solusi:
- Meski pahala umrah Ramadhan setara dengan pahala haji (HR. Bukhari dan Muslim), namun tidak menggugurkan kewajiban haji sebagaimana ijma’ ulama.
Kekacauan sistem negara bukan alasan menggugurkan kewajiban individu:
- Jika negara tidak memberi jalan, maka individu tetap berkewajiban berusaha mencari jalur sah lainnya (plus/furoda atau jalur lain yang memungkinkan).
Dengan demikian, fatwa yang menyebut bahwa haji tidak wajib bagi orang Indonesia karena sistem antrian atau mahalnya biaya, bertentangan dengan dalil dan ijma’ ulama tentang wajibnya haji bagi yang mampu secara syar’i.
Jawaban statemen: "Haji Furoda adalah Judi Gaya Baru"
Sebagian menyatakan bahwa haji furoda merupakan "judi gaya baru" karena dianggap:
- Tidak ada kepastian keberangkatan hingga waktu mepet menjelang haji.
- Ada risiko kehilangan dana jika gagal visa.
- Ketidakjelasan status dan proses dianggap sebagai pertaruhan.
Namun penyamaan ini tidaklah tepat, karena: Judi adalah:
"أخذ المال بالاحتمال الغالب أو المغالبة" —
mengambil harta dengan spekulasi atau pertaruhan yang berpotensi rugi secara sepihak. (al-Mughnī, Ibn Qudāmah)
Sedangkan akad haji furoda adalah akad jasa yang disertai perjanjian jelas, adanya iwadh (imbal balik), dan prosedur visa yang legal.
Perbandingan Definisi Qimār (Judi) Menurut Para Ulama dan Haji Furoda
Definisi Qimār (Judi) menurut Ulama Fikih:
Imam al-Kāsānī (w. 587 H) dalam Badā’iʿ al-Ṣanā’iʿ menyatakan:
"القمار هو كل معاملة يكون أحد العاقدين فيها متردداً بين أن يأخذ شيئاً أو لا يأخذه، وبين أن يعطي شيئاً أو لا يعطيه"
"Qimār (Judi) adalah setiap transaksi yang salah satu pihak dalam akadnya berada dalam posisi ragu-ragu antara mengambil sesuatu atau tidak, atau memberikan sesuatu atau tidak."
Ibn Qudāmah (w. 620 H) dalam al-Mughnī menyatakan:
"والقمار هو المغالبة على المال المحرمة بالاتفاق"
"Qimār adalah saling mengalahkan (berlomba) demi mendapatkan harta, dan hal ini diharamkan berdasarkan kesepakatan."
al-Jaṣṣāṣ (w. 370 H) dalam Aḥkām al-Qurʾān menjelaskan:
"وكل مغالبة فيها عوض من الجانبين فهي قمار"
"Setiap bentuk pertaruhan yang melibatkan dua pihak dengan bayaran dari keduanya adalah qimār."
Analisa Ilmiah:
Tidak semua ketidakpastian disebut judi atau qimār. Dalam banyak akad jasa, seperti penggalian sumur atau penunjuk jalan, ada unsur ketidakpastian. Namun para ulama membolehkannya selama tidak bersifat spekulatif ekstrem.
- Visa furoda/mujamalah bukan spekulasi liar, tapi dikeluarkan resmi oleh Pemerintah Saudi dan memiliki regulasi, dan secara fakta bahwa hal itu ada dan banyak orang yang berangkat melalui jalur ini.
- Akad travel haji furoda biasanya menyertakan klausul pengembalian dana atau perjanjian risiko, yang menghindari unsur eksploitasi atau pengambilan sepihak.
- Kaidah: الغنم بالغرم — "keuntungan sejalan dengan risiko", dan dalam akad jasa seperti ini, risiko adalah bagian dari struktur akad ijarah, bukan qimār.
- Jika haji furoda disebut judi karena ketidakpastian, maka logikanya semua jasa yang tidak dijamin 100% seperti tiket promo, pendaftaran antrean paspor, atau ijarah event, jasa perjalanan dll bisa dianggap judi — ini jelas berlebihan dan tidak sesuai qiyās syar'i.
Perbedaan yang Jelas antara Judi dengan Haji Furoda:
- Akad haji furoda bukan bentuk mughalabah (saling mengalahkan), tapi ijarah (akad sewa jasa), di mana satu pihak menyediakan jasa dan satu pihak membayar.
- Tidak ada unsur menang atau kalah dalam akad tersebut, dan tidak ada pihak yang mendapatkan harta tanpa sebab yang syar’i.
- Penyelenggara biasanya mencantumkan perjanjian yang menjelaskan kemungkinan risiko visa gagal, serta jaminan pengembalian atau pengalihan keberangkatan ke tahun berikutnya.
Contoh Kontras yang Jelas:
- Dalam perjudian, seseorang membeli kupon undian seharga Rp1 juta dengan kemungkinan 1% mendapatkan hadiah Rp100 juta. Jika menang, ia untung besar; jika kalah, ia rugi total. Ini adalah qimār.
- Dalam haji furoda, seseorang membayar Rp300 juta untuk layanan: tiket, hotel, konsumsi, dan pengurusan visa. Jika visa gagal, ada klausul kompensasi. Ini adalah jasa profesional yang dibayar dan tunduk pada regulasi negara pemberi visa.
Menyamakan haji furoda dengan qimār adalah bentuk qiyās yang tidak sah secara syar’i. Karena dua hal tersebut berbeda dari sisi:
- Tabiat akad (ijarah vs qimār),
- Tujuan akad (pelayanan vs keuntungan spekulatif),
- Akibat hukum (akad jasa dibolehkan syariat, qimār dilarang mutlak).
Kesimpulan: Pernyataan bahwa haji furoda adalah judi gaya baru adalah analogi yang tidak tepat, karena tidak memenuhi syarat-syarat qimār yang dilarang syariat. Bahkan justru melabeli akad-akad jasa yang legal dan syar'i sebagai judi tanpa dalil yang qath‘i bisa tergolong tuduhan batil dan zalim.
IQOMAH (IZIN TINGGAL) DAN TASREH HAJI
Pemerintah Saudi Arabia, selaku pemegang otorita wilayah muqaddasah (tanah haram) menetapkan bahwa seseorang tidak diizinkan untuk masuk wilayah masyaril haram (area untuk melaksanakan ibadah haji) melainkan memiliki izin untuk ,elaksanakan ibadah haji berupa visa haji (baik kuota maupun non kuota) ataupun Tasrih haji (izin haji) bagi pemilik izin tinggal (iqomah), maka bagi yang telah memenuhi syarat, dan telah diberi izin berupa tasreh haji, maka diperbolehkan oleh pihak otorita KSA untuk mendapatkan pelayanan selama melaksanakan ibadah haji. Maka ini sesuai dengan aturan yang diberlakukan oleh otorita kerajaan Saudi Arabia. Wallahu a’lam
PENUTUP:
Pada akhirnya kebenaran adalah milik Allah, dan apa yang disampaikan adalah usaha dan upaya agar dalam mengambil keputusan dapat dipertanggung jawabkan dihadapan Allah.
Apapun pendapat yang diambil ataupun dipilih, adalah keputusan masing-masing dan hak setiap orang yang wajib kita hormati, apalagi jika memiliki dasar yang kuat. Tugas setiap orang adalah mampu menjawab pertanyaan di hadapan Allah dengan keputusan yang diambil. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayahnya kepada seluruh kaum muslimin.
Wallāhu aʿlam Bishshowab
Penyusun :
Ustadz Fauzan Abdullah Lc, M.A