Hukum Thawaf dengan Sekuter Listrik
Pertanyaan mengenai hukum thawaf dengan menggunakan segway telah lama diperdebatkan oleh para ulama. Hal ini serupa dengan hukum thawaf di atas hewan tunggangan. Beberapa hadis menjadi referensi dalam pembahasan ini.
Pertama, hadis dari Abu Thufail, Amir bin Watsilah, beliau berkata,
رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عَلَى رَاحِلَتِهِ يَسْتَلِمُ الرُّكْنَ بِمِحْجَنِهِ ثُمَّ يُقَبِّلُهُ
"Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam thawaf di atas tunggangannya. Beliau menyentuh ruku hajar aswad dengan tongkatnya, lalu beliau menciium tongkat itu." (HR. Ahmad 23798, Abu Daud 1881, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Kedua, hadis dari Jabir bin Abdillah, beliau berkata,
طَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِالْبَيْتِ، وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، لِيَرَاهُ النَّاسُ وَلِيُشْرِفَ، وَلِيَسْأَلُوهُ
"Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan thawaf di ka’bah ketika haji wada’ di atas tunggangannya. Beliau juga melakukan sai antara shafa dan marwah di atas tunggangan, agar dilihat banyak orang, beliau tampakan dirinya agar mereka bertanya kepada beliau." (HR. Ahmad 14415 dan Muslim 3134)
Ketiga, hadis dari Ummu Salamah, yang mengalami sakit saat haji. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyarankan untuk thawaf dengan naik tunggangan. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
طُوفِي مِنْ وَرَاءِ النَّاسِ وَأَنْتِ رَاكِبَةٌ
"Lakukanlah thawaf di belakang jamaah sambil naik tunggangan." (HR. Ahmad 26485, Bukhari 464, dan Muslim 3137).
Keempat, hadis dari Ibnu Abbas, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- طَافَ فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ عَلَى بَعِيرٍ يَسْتَلِمُ الرُّكْنَ بِمِحْجَنٍ
"Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan thawaf ketika haji wada’ di atas onta beliau. Beliau menyentuh hajar aswad dengan tongkatnya." (HR. Muslim 3132, Nasai 2967 dan yang lainnya.)
Berdasarkan beberapa hadis di atas, kesimpulan yang dapat diambil dari para ulama adalah sebagai berikut:
Pertama, bagi orang yang sakit atau memiliki udzur, boleh melakukan thawaf dengan naik kendaraan, seperti tunggangan, kursi roda, atau alat lainnya. Ini berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyarankan seseorang yang sakit untuk melakukan thawaf dengan naik hewan tunggangan.
Kedua, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai hukum thawaf dengan naik kendaraan bagi yang tidak memiliki udzur.
Pendapat pertama, berjalan kaki adalah bagian dari kewajiban dalam thawaf bagi yang mampu dan tidak memiliki udzur. Ini merupakan pendapat yang disepakati oleh Hanafiyah, Malikiyah, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. Namun, ada pandangan yang sedikit berbeda di kalangan Hanafiyah, bahwa orang yang melakukan thawaf dengan naik kendaraan tanpa udzur wajib mengulangi thawaf jika masih berada di Mekah, dan harus membayar dam jika sudah meninggalkan Mekah.
Alasan pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan thawaf dengan shalat. Seagaimana orang shalat fardhu harus dilakukan sambil berdiri, thawaf juga harus dilakukan dengan jalan kaki.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ بِمَنْزِلَةِ الصَّلاَةِ
“Thawaf di ka’bah itu seperti shalat.” (HR. Hakim 2/267 dan dishahihkan ad-Dzahabi)
Alasan kedua, bahwa thawaf adalah ibadah yang terkait dengan ka’bah. Sehingga tidak boleh dilakukan di atas kendaraan, tanpa udzur seperti shalat. Ketika dilakukan di atas kendaraan, ada yang kurang dalam thawafnya, sehingga harus ditutupi dengan bayar dam.
Hanya saja, menurut hanafiyah, ada sedikit beda, thawaf di atas kendaraan tanpa udzur, wajib diulang jika masih di Mekah dan wajib bayar dam jika sudah pulang.
Pendapat kedua, thawaf dengan naik kendaraan tanpa udzur hukumnya sah dan tidak wajib membayar dam. Ini merupakan pandangan yang dipegang oleh Syafiiyah dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, meskipun Imam as-Syafii memakruhkan jika hewan tunggangannya bisa mengotori masjidil haram.
Alasan pertama, hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan thawaf di atas onta beliau dan hadis jabir dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan dirinya di hadapan banyak sahabat, bahwa beliau thawaf dan sai di atas tunggangan beliau.
Alasan kedua, bahwa Allah perintahkan manusia untuk melakukan thawaf, tanpa menjelaskan tata caranya.
Allah berfirman,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
"Lakukanlah thawaf di rumah tua (ka’bah)". (QS. al-Hajj: 29)
Ulama syafiiyah menjelaskan bahwa perintah mutlak (tanpa batasan). Artinya, dilakukan dengan cara bagaimanapun statusnya sah. Karena inti dari thawaf adalah mengelilingi ka’bah sebanyak 7 kali, dengan niat ibadah. Sementara kita tidak boleh memberikan batasan mengenai tata cara thawaf, tanpa dalil.
Alasan ketiga, bahwa yang dimaksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Thawaf itu seperti shalat” maksudnya adalah thawaf harus dilakukan dalam kondisi suci dari hadats besar dan kecil, seperti orang yang shalat. Sehingga tidak ada hubungannya dengan berjalan dan berkendaraan. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 23/124)
Berdasarkan penjelasan di atas, insyaaAllah pendapat yang lebih kuat adalah thawaf dengan menggunakan sekuter listrik hukumnya boleh, selama tidak mengganggu orang lain dan tidak mengotori masjid.